Kamis, 26 Agustus 2010

Arti Sebuah Kemerdekaan

 

 

Arti Sebuah Kemerdekaan

 

Setiap saat akan terjadi perubahan. Hari berganti menjadi minggu. Minggu
berganti menjadi bulan. Bulan berganti menjadi tahun. Tidak terasa, kita telah
memasuki Agustus 2007. Bagi bangsa Indonesia, Agustus merupakan bulan keramat.
Bulan tersebut adalah bulan kemerdekaan. Kita tahu, 17 Agustus 1945 dapat
dijadikan titik tolak atau tanggal bangkitnya bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri dalam rangka meraih
masa depan yang cerah.
Sudah 62 tahun bangsa Indonesia melewati masa-masa perjuangan mengisi
kemerdekaan. Selama itu tentu banyak suka dan duka yang kita rasakan. Masa 62
tahun bukanlah usia yang muda lagi, sudah setengah abad lebih. Menurut ukuran
umur manusia sudah sangat dewasa atau mungkin sudah tua dan cukup umur.
Kalau kita kaji dan renungkan lebih dalam lagi, kemerdekaan mempunyai beberapa
arti tersendiri, baik secara fisik-material maupun mental-spiritual. Antara
arti yang satu dengan yang lainnya tidka bisa dilepaskan karena saling
berkaitan dan mempengaruhi. Arti kemerdekaan adalah sebagai berikut.
Pertama, terbebas dari penjajahan bangsa lain atau bangsa asing. Bangsa dan
negara Indonesia yang kita cintai ini bisa terlepas dari kekuasaan penjajahan
dengan pengorbanan yang sangat besar. Darah, jiwa dan raga serta harta benda
yang tak terhingga telah menyatu pada bumi Indonesia, menjadi saksi berdirinya
Republik Indonesia. Betapa besar pengorbanan bangsa Indonesia demi meraih
kemerdekaan.
Kedua, bebas dari rasa takut dan khawatir. Orang dikatakan merdeka apabila
tidak dikungkung atau diliputi perasaan takut, cemas, dan khawatir yang
berkepanjangan. Ia terbebas dari pikiran yang sempit dan pendek.
Seandainya sudah terbebas dari rasa takut akan timbul keberanian, kreativitas,
dan munculnya ide-ide baru. Di sini kemerdekaan merupakan modal untuk
berkembang.
Ketiga, bebas untuk mengemukakan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat merupakan hak setiap orang. Tentu saja dalam
mengemukakan pendapat harus dilandasi rasa tanggung jawab, menghormati pendapat
orang lain dan tidak asal mengeluarkan pendapat. Dalam mengeluarkan atau
mengemukakan pendapat harus dibarengi kejujuran dan kebenaran. Jangan sampai
mengemukakan pendapat berisi kebohongan dan fitnah.
Keempat, bebas menentukan nasib sendiri. Orang dikatakan merdeka seandainya
bebas untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Karena pada
dasarnya, masa depan kita ditentukan oleh diri kita sendiri. Jalan mana yang
akan ditempuh, itu terserah kepada kita, apakah akan menempuh jalan lurus atau
berliku. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita tidak dibayangi,
dikendalikan, dan mendapat tekanan dari orang lain. Kehadiran orang lain
sifatnya hanya membantu, memberi saran atau informasi dan memotivsi. Pada
akhirnya apa pun yang akan kita lakukan atau perbuat berpulang kepada diri kita
masing-masing. Ingat, nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali kaum itu
sendiri yang mengubahnya.
Beberapa arti kemerdekaan di atas hendaknya dijadikan bahan renungan dan
introspeksi diri. Apakah kita sudah merasakan kemerdekaan yang sebenarnya?
Jawabannya berpulang kepada diri kita masing-masing. Hati kecil pasti bisa
menjawab. Mungkin seseorang telah merasakan atau menikmati arti kemerdekaan
yang sebenarnya. Atau mungkin hanya kemerdekaan semu.
Pada HUT Kemerdekaan Indonesia tahun ini, marilah kita mulai berbenah diri dan
perbaharui apa yang menjadi kesalahan pada masa silam, jangan kita tiru dan
ulangi lagi. Dengan semangat baru, kita lakukan yang terbaik bagi bangsa dan
negara. Apa yang telah Anda berikan dan lakukan buat negara?
Kemerdekaan yang telah diraih bukan berarti perjuangan berakhir, tetapi justru
perjuangan harus lebih keras lagi dalam rangka mengisi kemerdekaan, sehingga
cita-cita bangsa dapat tercapai. Mengisi kemerdekaan perlu didukung oleh
berbagai komponen atau unsur bangsa. Dengan kata lain, dalam membangun negara
dan bangsa dibutuhkan kerja sama dari semua pihak sesuai dengan fungsi dan
kedudukan atau statusnya.
Kemerdekaan akan terwujud apabila didukung ulama dan cendekiawan yang sarat
dengan ilmu. Ulama dan cendekiawan tempat kita bertanya karena mereka sebagai
orang yang mempunyai ilmu yang luas. Ilmu merupakan senjata dan modal bagi
manusia untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan di akhirat.
Dengan ilmu, hidup menjadi mudah.
Pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila ada umara atau pemimpin yang
adil. Siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin bangsa hendaknya bersikap adil,
bisa mendengar, merasakan, memahami, dan melakukan yang terbaik bagi rakyat
Indonesia. Pemimpin yang diharapkan yaitu yang bisa mengayomi dan mempersatukan
seluruh rakyat Indonesia. (penulis adalah guru pembimbing dan pembina mading
sma negeri 10 bandung)**
Arti Baru Kemerdekaan Indonesia
Benny Susetyo, Forum Diskusi Media Group
JIKA dibandingkan dengan usia Amerika Serikat yang sudah mencapai 229 tahun (4 Juli 1776 lepas dari koloni Inggris), usia kemerdekaan Indonesia mungkin belum ada apa-apanya. Namun, usia 60 tahun bagi RI bisa jadi setara karena kepribadian keindonesiaan kita dibangun sudah semenjak imperium Majapahit, Sriwijaya, dan dalam banyak catatan sejarah kita didewasakan oleh penjajahan selama 350 tahun!
Usia 60 tahun adalah usia yang matang. Beberapa generasi telah melewati suka dan duka menjalani kebangsaan Indonesia. Pahit getir Indonesia sebagai sebuah bangsa telah menjadi pengalaman berharga untuk membangun peradaban Republik.
Sayangnya, kita sulit bahkan hampir tidak pernah, atau bahkan tidak jarang tidak mau, belajar dari pengalaman. Sama halnya dengan keengganan kita untuk belajar dari sejarah. Kita sering terperosok ke dalam lubang yang sama beberapa kali. Kegagalan demi kegagalan seolah menjadi ciri khas bangsa ini.
Bangsa yang besar harus mampu ‘membaca’ ulang sejarahnya dan menjadikannya sebagai dasar berperilaku. Sejarah menjadi catatan terbaik untuk merenungkan ke mana negeri ini akan dibawa. Sejarah adalah landasan untuk membangun sebuah bangsa. Sejarah ketidakadilan dan kolonialisme bangsa kita seharusnya membuka mata hati kita bahwa bangsa ini harus dibangun di atas kekukuhan kemanusiaan dan keadilan.
Indonesia kekinian sering kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan akibat ulah elitenya. Mereka sering bertindak atas nama rakyat semesta, tetapi nyatanya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Indonesia kini mengalami krisis nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Sudah banyak ruang ekspresi kebangsaan yang direduksi menjadi semata-mata dalam nilai-nilai materialistik, juga hanya dalam pengertian logika pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Kita belum sepenuhnya memahami bahwa perubahan sebuah bangsa harus dimaknai dalam dinamika ruang dan waktu. Perubahan sebuah bangsa tidak hanya dibatasi oleh kondisi fisik (ruang saja), tetapi juga oleh waktu.
Memaknai ulang keindonesiaan kita berarti kita harus membaca dalam kacamata pandang baru, yakni dalam konteks politik dunia yang cenderung berorientasi ke arah liberalisme. Ideologi pasar dan neoliberalisme telah membuat negara sebagai institusi tidak lagi memainkan peranan sebagai penentu utama kehidupan dirinya.
Negara dengan segala badan publiknya sering tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengatur kehidupan masyarakat secara independen. Kepentingan global dalam pelajaran kebangsaan kita sering kali mendikte produk kebijakan kita. Indonesia kini harus disadari hanya sekadar sekrup kecil di mana kekuatan industri global begitu berperan mengatur kehidupan suatu negara. Negara dalam pengertian konvensional tidak lagi memiliki kewibawaan, karena sering kedaulatannya ditentukan oleh siapa yang mempunyai modal.
Modal sekarang ini telah menjadi penguasa dan pencatat sejarah bangsa ini akan dijalankan ke mana. Karena itulah sering kita lupa, kita ini sebenarnya sudah merdeka dari siapa? Untuk apa kita merdeka? Dua pertanyaan mendasar ini merupakan cermin dari refleksi kemerdekaan yang belum selesai. Selama kita merdeka, kita hanya berani merefleksikan kita merdeka dari kolonialisme konvensional. Kita belum sering bertanya, kita sudah merdeka atau belum.
Membaca sejarah dengan paradigma baru berarti berani melihat bahwa sebagai bangsa ikatan kesadaran kita masih begitu lemah. Alat perekatnya masih berdasarkan pada ikatan sejarah yang dimaknai oleh generasi tua. Ikatan kebangsaan kita masih tidak kukuh karena anak muda tidak merasakan bahwa hal itu merupakan bagian dari pergulatan dirinya.